Lingkungan baru selalu membuatku merasa bukan bagian dari penduduk bumi. Sulit. Sulit bagiku untuk beradaptasi dengan segala yang baru. Memasuki dunia kampus bisa saja kuhindari seandainya Ibu dan Bapak bukan orangtua yang memedulikan pendidikan dan seandainya aku memiliki lebih dari dua puluh lima persen jiwa pembangkang. Hari-hari setelah hari ini bisa jadi lebih baik setelah seminggu ospek yang menyebalkan dan super membosankan itu selesai kemarin.
Aku terlalu sensitif. Begitu menurutku. Meskipun aku tidak menunjukkan kelemahan ini pada semua orang (aku jelas tidak ingin membuat teman-teman baruku menjadi kikuk di dekatku), tapi seiring waktu mereka pasti mengenalku dan mungkin akan terbiasa pada akhirnya. Aku hanya mengulur-ulur moment itu. Meskipun bagiku tidak penting apakah orang mengenalku atau tidak, tidak penting apakah mereka berpikir aku cukup baik atau tidak, juga tidak penting apapun yang mereka katakan tentangku, karena aku jauh lebih mengenal diriku dibanding siapapun di luar sana yang hanya melihat sebagian kecil lalu dengan mudahnya menilai secara keseluruhan.
Aku selalu memiliki ketakutan berlebih untuk mengambil sebuah keputusan penting. Juga saat aku memutuskan menunda kuliah setahun yang lalu. Bukan hal mudah untuk seorang siswa SMA yang baru lulus memutuskan 'tidak kuliah sementara' ditengah-tengah kehebohan teman-teman lain menjadi mahasiswa.
Ketakutan pertamaku muncul dari skeptisme Ibu-Bapak. Mereka tak habis pikir kenapa aku bisa memikirkan ide ini. Ini ide buruk. Tapi jelas ini solusi yang baik, menurutku. Sedangkan mereka berpikir sebaliknya, ini adalah ide dan solusi terburuk yang pernah ada. Okey, ini aku. Aku ingin menuruti keinginan kalian kalau aja aku mampu. Nyatanya tidak. Aku tidak cukup tabah untuk itu.
Aku memutuskan menunda kuliah, tidak peduli dengung-dengung negatif di sekelilingku. Bahkan dari keluarga. Tidak bisakah kalian lihat dari sudut pandangku? teriakku dalam hati. Tidak usah berusaha mengerti semua hal, cukup pahami apa yang jelas tidak bisa aku lakukan saat ini, dan berhenti memaksa. Kurasa semua akan lebih baik dengan begitu.
Isu-isu yang beredar menjadi salah satu hiburanku. Melihat betapa banyaknya orang-orang sok tahu di tempat tak terduga. Aku tertawa sarkastis. Aku menemukan mereka dalam pikiran 'serba tahu' yang keliru. Benar-benar menarik.
Ini bukan kesalahan. Bukan. Aku memilih pilihan yang kuanggap paling tidak menyesakkan. Tetap berada di dekat mereka. Meskipun itu melumpuhkan keinginan untuk melihat sudut lain dunia untuk sementara, untuk menjadi salah satu orang muda yang mengejar cita-citanya. Ah, gampang, pikirku. Aku tinggal mereset ulang cita-citaku. Dan memulainya lagi kemudian. Sederhana saja. Uang memang memiliki nilai waktu, tapi cita-cita kurasa tidak begitu sensitif dengan fungsi waktu. Setahun, dua tahun, tidak masalah. Dan inilah aku.