Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Sunday, July 29, 2012

Terompet 26 (2)


gambar hasil random browsing

Pagi itu cuaca lebih cerah, meskipun tidak berpengaruh banyak padaku. Bagiku mendung ataupun cerah sama saja, toh kita tidak bisa mengubahnya, jadi aku lebih memilih menikmati keduanya. Seperti biasa, kuliah pagi selalu menyiksa. Mataku tidak pernah bersahabat baik dengan matahari pagi. Sejujurnya aku hampir menggunakan obat tetes mata setiap pagi untuk mendapat efek segar, tapi tentu saja tidak bertahan lama. Aku juga tidak begitu menyukai minuman bercaffein tinggi, hanya saja di saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkan pengecualian.

Ya ampun, aku benar-benar berharap sesuatu yang tidak terlalu buruk terjadi di sana, di jalan-jalan protocol manapun yang dilewati Pak Anwar, dosen Pengantar Akuntansi. Setidaknya itu mungkin bisa menghalangi beliau datang tepat waktu dan mengadakan kuis. Aku benar-benar tidak siap –sejujurnya aku tidak pernah tahu kapan akan siap, mengingat aku tidak begitu tertarik di bidang ini.

Ini benar-benar sangat membosankan. Apapun yang kulakukan setiap hari terjadwal dengan sempurna. Bangun tidur di jam yang sama (tentu saja aku tidak mengabaikan jasa weker), melewati jalanan yang sama setiap hari, duduk diam dengan sabar mendengarkan dosen di kelas (yah, sesekali aku melirik ke pergelangan tangan kiri, tepat ke jam tangan). Bagusnya adalah aku tidak pernah terkejut karena memang tidak ada kejutan, karena seperti yang kukatakan: semuanya terjadwal. Dan dengan demikian jantungku aman.

Setiap pagi jalan dari kost ke kampus selalu ramai. Sambil berjalan, aku memperhatikan orang-orang di sekitarku. Aku penasaran, dari semua mahasiswa yang bersama-sama denganku ke kampus, berapa banyak yang merasa terpaksa melakukan ini semua. Aku berharap hasilnya bukan hanya aku seorang. Tapi mereka semua kelihatan bersemangat. Sangat. Langkah kakinya cepat meski tidak terlihat terburu-buru. Dan dari cara mereka melangkah aku bisa melihat ada keyakinan, seolah-olah mereka tahu pasti apa yang akan mereka dapatkan di sana, tidak hanya di kampus tetapi juga kehidupan setelah keluar kampus. Refleks aku membandingkan dengan diriku sendiri, kemudian merasa menjadi orang kerdil di antara mereka, para titan. Aku tidak tahu dan bahkan tidak pernah membayangkan apa yang sedang kulakukan. Motifku hanya … ah, sudahlah. Begini saja cukup. Hari ini aku masih kuliah itu berarti kabar baik.

Aku berjalan sendirian di sisi kanan, di trotoar. Sejauh yang kulihat, ada sekelompok mahasiswa berjalan di depanku. Aku memperlambat jalan, memberi jarak beberapa meter. Sesekali aku melihat ke bawah, ke trotoar tempatku berpijak. Ada sedikit sela di antara trotoar ini, di bawahnya mungkin parit, sekilas aku melihat sesuatu mengalir di bawahnya, gelap. Aku tetap berusaha melihat seperti apa persisnya di bawah sana sambil berjalan lambat. For God’s sake, I didn’t know why I keep doing this! Maybe I just had nothing to do.

“Cari sesuatu di bawah sana?”. Aku mendengar suara seseorang yang kukenal. Tunggu…dia bertanya padaku? Ouchhh…

Aku menoleh ke kanan, melihatnya berjalan sama lambatnya denganku dan menunjukkan ekspresi yang seolah berkata ‘kau tertangkap basah sedang mengintip sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat’. Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan, mencoba mengulur-ulur waktu sambil berpikir apa yang harus kukatakan.

Aku memutuskan untuk menjawab, “Tadi aku liat ada yang bergerak-gerak di bawah situ”, sambil menunjuk ke arah trotoar yang belum jauh kami lewati. Oh, aku merasa konyol!

“Air. Yang ada di bawah situ air parit”, jelasnya dengan nada bersungguh-sungguh. Haruskah kukatakan bahwa sebenarnya aku tahu? Memberitahunya bahwa aku tidak setolol itu…

“Hmm.. ya, aku juga yakin itu air parit, Bang”, jawabku sambil tersenyum menyerah. Lebih baik mengikuti alurnya, dari pada aku semakin mempermalukan diri sendiri. Sepintas aku melirik ke kanan dan melihatnya seperti sedang menahan senyum. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak meringis. Bagaimanapun juga mengamati parit di bawah trotoar bukan sesuatu yang bisa disebut normal.

“Masuk kelas apa pagi ini?”, tanyanya, mencoba melanjutkan percakapan.

“Pengantar Akuntansi. Hari ini aku ikhlas dikuliahi Pak Anwar”, jawabku kecut. Aku masih kesal mengingat tentang kuis yang akan diadakannya.

“ Haha tumben ikhlas?”

“Karena Bapak itu ga akan ngasi kuliah hari ini. Tapi, sebagai gantinya beliau ngasi kuis!”, jawabku sarkastis.

“Oh, hahaha. Pengantar Akuntansi kan ga sulit”. Aku seperti mendengar ada nada menenangkan di sini.

Ga sulit? Yang bener aja! Aku bahkan ga suka dengan istilah debit kredit. Jadi, jangan berharap terlalu tinggi untuk hal ini.

“Hmm, entahlah. Ga sulit mungkin, tapi ga mudah buatku, Bang”, ucapku sambil tersenyum. Aku tidak mau mengkonfrontasi dia terang-terangan. Cukup menunjukkan pendapat pribadi yang tidak menentang secara blak-blakan.

Selebihnya kami berjalan dalam diam. Aku merasa nyaman. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan. Tidak sendirian, tapi tidak harus berusaha membuat percakapan. Aku juga tidak berusaha melihat ekspresinya. Karena sepengetahuanku, dia bukan tipe orang yang harus terus-menerus terlibat obrolan dengan orang-orang disekitarnya.

Kenyamananku menguap tak lama kemudian karena kami telah sampai di kampus. Dan kebetulan kelas kami berlawanan arah. Kelasku di gedung depan, sedangkan kelasnya di gedung belakang. Di ujung koridor ini seharusnya kami berpencar.

“Okey. Good luck kuisnya!”, katanya singkat.

“Ya. Makasi, Bang”, sahutku sambil benar-benar berharap ada ‘luck’ yang akan menyelamatkanku dari kuis ini. Aku melihatnya membalikkan badan, kemudian dengan enggan aku juga berjalan menuju kelasku yang berlawanan arah dengannya.

“Mmm, Nov?”, tiba-tiba dia memanggilku.

“Ya?”, refleks kujawab.

“Kalo kamu masih kesulitan untuk mata kuliah ini, Abang ada di perpus setelah jam makan siang nanti”.
Aku tersenyum dan mengangguk. Dia hanya mengatakan itu lalu tersenyum dan beranjak pergi. Aku takut salah mengartikannya.

Is it an invitation? We’ll see.

Monday, February 13, 2012

Terompet 26


It's amazing time when we just walked in together in this silent sunny day.
Looked each other then smiled.
"Tinggal dimana?", tanyanya sembari berjalan disisi kananku.
Aku benci pertanyaan menyelidik. Tapi kali ini dengan senang hati kujawab, "Jalan Terompet".
"Bunda boru apa?", aku tidak habis pikir kenapa ia berpikir ada panggilan 'bunda' di rumahku. Ayolah, ini Medan, Bung, hampir mustahil kau menemukan seorang anak yang memanggil ibunya dengan sebutan 'bunda'.
But, it's ok. I don't wanna debate you right now.
"Boru Panggabean, Bang", kujawab seadanya dengan sedikit senyum.
"Kau kelihatan agak beda dari orang Batak umumnya", well, ini bukan pertanyaan kan?
Tapi kujelaskan saja bahwa ibuku adalah campuran Batak dan Jawa, dan sepertinya tidak ada satu pun dari keduanya yang menonjol dalam diriku. Jadi wajar saja kalau orang-orang tidak bisa langsung mengenaliku sebagai gadis Batak.

"Terompet berapa?" ia melanjutkan pertanyaan tempat tinggal lagi. Ugh, kenapa kamu ingin tahu lebih dari sekadar 'Jalan Terompet'?
"Memangnya ada berapa Jalan Terompet disini, Bang?", asal saja kujawab dengan pertanyaan konyol.
"Maksudnya nomor berapa, dek?". Kali ini aku menahan tawa, dan semakin sulit saat kulihat ekspresi wajahnya yang tak menduga jawabanku seperti itu.
"Oh. Dua enam", balasku singkat, masih berusaha menahan tawa yang hendak meledak. Sesuatu di wajahnya meyakinkanku bahwa ia bingung dengan sikapku.

Well, maybe you can melt every girl's heart you ever met, but you can't do this on me. Even if it works, I won't let you know that you win.


"Jadi kenapa selalu pulang setiap minggu?"
Aku suka Binjai, aku suka pepohonannya, aku suka keramaiannya yang sunyi (sangat cocok denganku), aku suka penghuninya, aku suka semuanya, bahkan aku suka aroma debunya. 


"Karena aku suka", hanya ini jawaban yang terlontar dari semua alasan yang mampu kupikirkan sebelumnya. Aku yakin meskipun kukatakan semua hal yang kusuka dari kota kelahiranku itu, ia tidak akan cukup mengerti sampai ia sendiri melihat Binjai-ku.

Hening beberapa saat.

"Kamu anak bungsu?", aku yakin dia bertanya karena mengira seseorang seperti aku seharusnya adalah anak bungsu yang manja dan tidak bisa apa-apa.
Lega mengetahui arah pembicaraan ini, kujawab sekenanya meski sedikit lebih dari pertanyaannya yang terlontar, "Nggak. Disini sekalian part time, jadi private teacher".
"Oh, baguslah. Udah terpikir ke arah situ. Bisa mandiri", katanya sembari tersenyum puas ke arahku, dan kubalas senyumnya kemudian ia buru-buru memalingkan wajah ke depan. Tentu saja ia tidak sempat melihat ekspresi geli di wajahku.
Aku merasa dia sama kikuknya denganku atau ini hanya perasaanku saja?
"Hahaha, ya". Senang rasanya bisa menjawab pertanyaan yang bahkan tidak kau lontarkan, Bang.

Kami tiba di depan sebuah rumah model minimalis yang cukup asri dengan pohon cemara yang rindang di halaman mini tepat di depan teras rumah. Di tembok pagar rumah itu tertulis angka 26 dengan warna emas.
Lalu tiba-tiba perjalanan ini terasa terlalu singkat. Sebelumnya aku merasa kost-anku terlalu jauh dari kampus, dan sekarang untuk sesaat aku berharap kost-an ini bahkan lebih jauh dari Terompet 26. Aku sempat berpikir seharusnya waktu berhenti beberapa menit lagi. Izinkan aku berjalan disampingnya beberapa saat lagi, izinkan aku merekam moment ini lebih lama, agar tidak ada bagian yang terlupa saat aku ingin memutarnya kembali.

"Disini?", pertanyaannya lebih kedengaran seperti 'pemberitahuan bahwa kami telah sampai'.
"Ya", sahutku masih dengan senyum, namun kali ini senyum yang dipaksakan karena aku sedikit kesal menyadari bahwa kami telah sampai (terlalu cepat).
Sejujurnya aku juga takut kapasitas bicaraku yang minim membuatnya berpikir aku tidak menyukainya, jadi sebisa mungkin aku melemparkan senyum yang tulus.

"Kalau gitu, aku duluan, Bang", tambahku sekadar berpamitan.
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum berterima kasih padanya.


"Mmm, makasi buat bantuannya tadi, Bang", sambungku pelan ketika ia sudah berjalan beberapa langkah dari rumah, tidak berharap ia mendengar, hanya berusaha melegakan perasaanku yang merasa tidak enak karena sudah diberi bantuan secara cuma-cuma.
"Ya, sama-sama", ia memalingkan wajahnya ke belakang, ke arahku sambil tersenyum.
Oh, ia masih mendengarku. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...