It's amazing time when we just walked in together in this silent sunny day."Tinggal dimana?", tanyanya sembari berjalan disisi kananku.
Looked each other then smiled.
Aku benci pertanyaan menyelidik. Tapi kali ini dengan senang hati kujawab, "Jalan Terompet".
"Bunda boru apa?", aku tidak habis pikir kenapa ia berpikir ada panggilan 'bunda' di rumahku. Ayolah, ini Medan, Bung, hampir mustahil kau menemukan seorang anak yang memanggil ibunya dengan sebutan 'bunda'.
But, it's ok. I don't wanna debate you right now.
"Boru Panggabean, Bang", kujawab seadanya dengan sedikit senyum.
"Kau kelihatan agak beda dari orang Batak umumnya", well, ini bukan pertanyaan kan?
Tapi kujelaskan saja bahwa ibuku adalah campuran Batak dan Jawa, dan sepertinya tidak ada satu pun dari keduanya yang menonjol dalam diriku. Jadi wajar saja kalau orang-orang tidak bisa langsung mengenaliku sebagai gadis Batak.
"Terompet berapa?" ia melanjutkan pertanyaan tempat tinggal lagi. Ugh, kenapa kamu ingin tahu lebih dari sekadar 'Jalan Terompet'?
"Memangnya ada berapa Jalan Terompet disini, Bang?", asal saja kujawab dengan pertanyaan konyol.
"Maksudnya nomor berapa, dek?". Kali ini aku menahan tawa, dan semakin sulit saat kulihat ekspresi wajahnya yang tak menduga jawabanku seperti itu.
"Oh. Dua enam", balasku singkat, masih berusaha menahan tawa yang hendak meledak. Sesuatu di wajahnya meyakinkanku bahwa ia bingung dengan sikapku.
Well, maybe you can melt every girl's heart you ever met, but you can't do this on me. Even if it works, I won't let you know that you win.
"Jadi kenapa selalu pulang setiap minggu?"
Aku suka Binjai, aku suka pepohonannya, aku suka keramaiannya yang sunyi (sangat cocok denganku), aku suka penghuninya, aku suka semuanya, bahkan aku suka aroma debunya.
"Karena aku suka", hanya ini jawaban yang terlontar dari semua alasan yang mampu kupikirkan sebelumnya. Aku yakin meskipun kukatakan semua hal yang kusuka dari kota kelahiranku itu, ia tidak akan cukup mengerti sampai ia sendiri melihat Binjai-ku.
Hening beberapa saat.
"Kamu anak bungsu?", aku yakin dia bertanya karena mengira seseorang seperti aku seharusnya adalah anak bungsu yang manja dan tidak bisa apa-apa.
Lega mengetahui arah pembicaraan ini, kujawab sekenanya meski sedikit lebih dari pertanyaannya yang terlontar, "Nggak. Disini sekalian part time, jadi private teacher".
"Oh, baguslah. Udah terpikir ke arah situ. Bisa mandiri", katanya sembari tersenyum puas ke arahku, dan kubalas senyumnya kemudian ia buru-buru memalingkan wajah ke depan. Tentu saja ia tidak sempat melihat ekspresi geli di wajahku.
Aku merasa dia sama kikuknya denganku atau ini hanya perasaanku saja?
"Hahaha, ya". Senang rasanya bisa menjawab pertanyaan yang bahkan tidak kau lontarkan, Bang.
Kami tiba di depan sebuah rumah model minimalis yang cukup asri dengan pohon cemara yang rindang di halaman mini tepat di depan teras rumah. Di tembok pagar rumah itu tertulis angka 26 dengan warna emas.
Lalu tiba-tiba perjalanan ini terasa terlalu singkat. Sebelumnya aku merasa kost-anku terlalu jauh dari kampus, dan sekarang untuk sesaat aku berharap kost-an ini bahkan lebih jauh dari Terompet 26. Aku sempat berpikir seharusnya waktu berhenti beberapa menit lagi. Izinkan aku berjalan disampingnya beberapa saat lagi, izinkan aku merekam moment ini lebih lama, agar tidak ada bagian yang terlupa saat aku ingin memutarnya kembali.
"Disini?", pertanyaannya lebih kedengaran seperti 'pemberitahuan bahwa kami telah sampai'.
"Ya", sahutku masih dengan senyum, namun kali ini senyum yang dipaksakan karena aku sedikit kesal menyadari bahwa kami telah sampai (terlalu cepat).
Sejujurnya aku juga takut kapasitas bicaraku yang minim membuatnya berpikir aku tidak menyukainya, jadi sebisa mungkin aku melemparkan senyum yang tulus.
"Kalau gitu, aku duluan, Bang", tambahku sekadar berpamitan.
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum berterima kasih padanya.
"Mmm, makasi buat bantuannya tadi, Bang", sambungku pelan ketika ia sudah berjalan beberapa langkah dari rumah, tidak berharap ia mendengar, hanya berusaha melegakan perasaanku yang merasa tidak enak karena sudah diberi bantuan secara cuma-cuma.
"Ya, sama-sama", ia memalingkan wajahnya ke belakang, ke arahku sambil tersenyum.
Oh, ia masih mendengarku.
4 comments:
Bagus banget, Vi!!! Seneng bacanya. Kisah pribadi..., si abang itu? #kepo
Mbak, jadi malu ah, hehe
*nyengir*
Hei, you good at writing. You are.
Sama kayak Lita, kisah nyata? Tapi melihat nyengirnya, kayaknya iya ya? :D
ahahaha, trims yo, bg :)
kisah nyata? *nyengir lebih lebar :D
Post a Comment