gambar hasil random browsing
Pagi itu cuaca lebih cerah,
meskipun tidak berpengaruh banyak padaku. Bagiku mendung ataupun cerah sama
saja, toh kita tidak bisa mengubahnya, jadi aku lebih memilih menikmati
keduanya. Seperti biasa, kuliah pagi selalu menyiksa. Mataku tidak pernah
bersahabat baik dengan matahari pagi. Sejujurnya aku hampir menggunakan obat
tetes mata setiap pagi untuk mendapat efek segar, tapi tentu saja tidak
bertahan lama. Aku juga tidak begitu menyukai minuman bercaffein tinggi, hanya
saja di saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkan pengecualian.
Ya ampun, aku benar-benar
berharap sesuatu yang tidak terlalu buruk terjadi di sana, di jalan-jalan protocol
manapun yang dilewati Pak Anwar, dosen Pengantar Akuntansi. Setidaknya itu
mungkin bisa menghalangi beliau datang tepat waktu dan mengadakan kuis. Aku
benar-benar tidak siap –sejujurnya aku tidak pernah tahu kapan akan siap,
mengingat aku tidak begitu tertarik di bidang ini.
Ini benar-benar sangat
membosankan. Apapun yang kulakukan setiap hari terjadwal dengan sempurna. Bangun
tidur di jam yang sama (tentu saja aku tidak mengabaikan jasa weker), melewati
jalanan yang sama setiap hari, duduk diam dengan sabar mendengarkan dosen di
kelas (yah, sesekali aku melirik ke pergelangan tangan kiri, tepat ke jam
tangan). Bagusnya adalah aku tidak pernah terkejut karena memang tidak ada
kejutan, karena seperti yang kukatakan: semuanya terjadwal. Dan dengan demikian
jantungku aman.
Setiap pagi jalan dari kost ke
kampus selalu ramai. Sambil berjalan, aku memperhatikan orang-orang di
sekitarku. Aku penasaran, dari semua mahasiswa yang bersama-sama denganku ke
kampus, berapa banyak yang merasa terpaksa melakukan ini semua. Aku berharap
hasilnya bukan hanya aku seorang. Tapi mereka semua kelihatan bersemangat. Sangat.
Langkah kakinya cepat meski tidak terlihat terburu-buru. Dan dari cara mereka
melangkah aku bisa melihat ada keyakinan, seolah-olah mereka tahu pasti apa
yang akan mereka dapatkan di sana, tidak hanya di kampus tetapi juga kehidupan
setelah keluar kampus. Refleks aku membandingkan dengan diriku sendiri,
kemudian merasa menjadi orang kerdil di antara mereka, para titan. Aku tidak
tahu dan bahkan tidak pernah membayangkan apa yang sedang kulakukan. Motifku
hanya … ah, sudahlah. Begini saja cukup. Hari ini aku masih kuliah itu berarti
kabar baik.
Aku berjalan sendirian di sisi
kanan, di trotoar. Sejauh yang kulihat, ada sekelompok mahasiswa berjalan di
depanku. Aku memperlambat jalan, memberi jarak beberapa meter. Sesekali aku
melihat ke bawah, ke trotoar tempatku berpijak. Ada sedikit sela di antara
trotoar ini, di bawahnya mungkin parit, sekilas aku melihat sesuatu mengalir di
bawahnya, gelap. Aku tetap berusaha melihat seperti apa persisnya di bawah sana
sambil berjalan lambat. For God’s sake, I didn’t know why I keep doing this!
Maybe I just had nothing to do.
“Cari sesuatu di bawah sana?”.
Aku mendengar suara seseorang yang kukenal. Tunggu…dia bertanya padaku? Ouchhh…
Aku menoleh ke kanan, melihatnya
berjalan sama lambatnya denganku dan menunjukkan ekspresi yang seolah berkata ‘kau
tertangkap basah sedang mengintip sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat’. Aku
tersenyum, senyum yang dipaksakan, mencoba mengulur-ulur waktu sambil berpikir
apa yang harus kukatakan.
Aku memutuskan untuk menjawab, “Tadi
aku liat ada yang bergerak-gerak di bawah situ”, sambil menunjuk ke arah
trotoar yang belum jauh kami lewati. Oh, aku merasa konyol!
“Air. Yang ada di bawah situ air
parit”, jelasnya dengan nada bersungguh-sungguh. Haruskah kukatakan bahwa
sebenarnya aku tahu? Memberitahunya bahwa aku tidak setolol itu…
“Hmm.. ya, aku juga yakin itu air
parit, Bang”, jawabku sambil tersenyum menyerah. Lebih baik mengikuti alurnya,
dari pada aku semakin mempermalukan diri sendiri. Sepintas aku melirik ke kanan
dan melihatnya seperti sedang menahan senyum. Aku tak bisa menahan diri untuk
tidak meringis. Bagaimanapun juga mengamati parit di bawah trotoar bukan sesuatu
yang bisa disebut normal.
“Masuk kelas apa pagi ini?”,
tanyanya, mencoba melanjutkan percakapan.
“Pengantar Akuntansi. Hari ini
aku ikhlas dikuliahi Pak Anwar”, jawabku kecut. Aku masih kesal mengingat
tentang kuis yang akan diadakannya.
“ Haha tumben ikhlas?”
“Karena Bapak itu ga akan ngasi
kuliah hari ini. Tapi, sebagai gantinya beliau ngasi kuis!”, jawabku sarkastis.
“Oh, hahaha. Pengantar Akuntansi
kan ga sulit”. Aku seperti mendengar ada nada menenangkan di sini.
Ga sulit? Yang bener aja! Aku bahkan ga suka dengan istilah debit
kredit. Jadi, jangan berharap terlalu tinggi untuk hal ini.
“Hmm, entahlah. Ga sulit mungkin,
tapi ga mudah buatku, Bang”, ucapku sambil tersenyum. Aku tidak mau
mengkonfrontasi dia terang-terangan. Cukup menunjukkan pendapat pribadi yang
tidak menentang secara blak-blakan.
Selebihnya kami berjalan dalam
diam. Aku merasa nyaman. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan. Tidak
sendirian, tapi tidak harus berusaha membuat percakapan. Aku juga tidak
berusaha melihat ekspresinya. Karena sepengetahuanku, dia bukan tipe orang yang
harus terus-menerus terlibat obrolan dengan orang-orang disekitarnya.
Kenyamananku menguap tak lama
kemudian karena kami telah sampai di kampus. Dan kebetulan kelas kami
berlawanan arah. Kelasku di gedung depan, sedangkan kelasnya di gedung
belakang. Di ujung koridor ini seharusnya kami berpencar.
“Okey. Good luck kuisnya!”,
katanya singkat.
“Ya. Makasi, Bang”, sahutku
sambil benar-benar berharap ada ‘luck’ yang akan menyelamatkanku dari kuis ini.
Aku melihatnya membalikkan badan, kemudian dengan enggan aku juga berjalan
menuju kelasku yang berlawanan arah dengannya.
“Mmm, Nov?”, tiba-tiba dia
memanggilku.
“Ya?”, refleks kujawab.
“Kalo kamu masih kesulitan untuk mata
kuliah ini, Abang ada di perpus setelah jam makan siang nanti”.
Aku tersenyum dan mengangguk. Dia
hanya mengatakan itu lalu tersenyum dan beranjak pergi. Aku takut salah mengartikannya.
Is it an invitation? We’ll see.