Tuesday, January 24, 2012

Look At Those Days




        Lingkungan baru selalu membuatku merasa bukan bagian dari penduduk bumi. Sulit. Sulit bagiku untuk beradaptasi dengan segala yang baru. Memasuki dunia kampus bisa saja kuhindari seandainya Ibu dan Bapak bukan orangtua yang memedulikan pendidikan dan seandainya aku memiliki lebih dari dua puluh lima persen jiwa pembangkang. Hari-hari setelah hari ini bisa jadi lebih baik setelah seminggu ospek yang menyebalkan dan super membosankan itu selesai kemarin.
        Aku terlalu sensitif. Begitu menurutku. Meskipun aku tidak menunjukkan kelemahan ini pada semua orang (aku jelas tidak ingin membuat teman-teman baruku menjadi kikuk di dekatku), tapi seiring waktu mereka pasti mengenalku dan mungkin akan terbiasa pada akhirnya. Aku hanya mengulur-ulur moment itu. Meskipun bagiku tidak penting apakah orang mengenalku atau tidak, tidak penting apakah mereka berpikir aku cukup baik atau tidak, juga tidak penting apapun yang mereka katakan tentangku, karena aku jauh lebih mengenal diriku dibanding siapapun di luar sana yang hanya melihat sebagian kecil lalu dengan mudahnya menilai secara keseluruhan. 
        Aku selalu memiliki ketakutan berlebih untuk mengambil sebuah keputusan penting. Juga saat aku memutuskan menunda kuliah setahun yang lalu. Bukan hal mudah untuk seorang siswa SMA yang baru lulus memutuskan 'tidak kuliah sementara' ditengah-tengah kehebohan teman-teman lain menjadi mahasiswa.
        Ketakutan pertamaku muncul dari skeptisme Ibu-Bapak. Mereka tak habis pikir kenapa aku bisa memikirkan ide ini. Ini ide buruk. Tapi jelas ini solusi yang baik, menurutku. Sedangkan mereka berpikir sebaliknya, ini adalah ide dan solusi terburuk yang pernah ada. Okey, ini aku. Aku ingin menuruti keinginan kalian kalau aja aku mampu. Nyatanya tidak. Aku tidak cukup tabah untuk itu. 
        Aku memutuskan menunda kuliah, tidak peduli dengung-dengung negatif di sekelilingku. Bahkan dari keluarga. Tidak bisakah kalian lihat dari sudut pandangku? teriakku dalam hati. Tidak usah berusaha mengerti semua hal, cukup pahami apa yang jelas tidak bisa aku lakukan saat ini, dan berhenti memaksa. Kurasa semua akan lebih baik dengan begitu. 
        Isu-isu yang beredar menjadi salah satu hiburanku. Melihat betapa banyaknya orang-orang sok tahu di tempat tak terduga. Aku tertawa sarkastis. Aku menemukan mereka dalam pikiran 'serba tahu' yang keliru. Benar-benar menarik. 
        Ini bukan kesalahan. Bukan. Aku memilih pilihan yang kuanggap paling tidak menyesakkan. Tetap berada di dekat mereka. Meskipun itu melumpuhkan keinginan untuk melihat sudut lain dunia untuk sementara, untuk menjadi salah satu orang muda yang mengejar cita-citanya. Ah, gampang, pikirku. Aku tinggal mereset ulang cita-citaku. Dan memulainya lagi kemudian. Sederhana saja. Uang memang memiliki nilai waktu, tapi cita-cita kurasa tidak begitu sensitif dengan fungsi waktu. Setahun, dua tahun, tidak masalah. Dan inilah aku.
      
          

Thank You For Giving Me Sweet Memories, Dear JB :)




 
Remember?? It's birthday card from you JBers on my 17th birthday. It's one of my best things I've ever had :)
Thank you for the sweet memories we have. 
*missing JBers: Yo, Us-us, Tika*

Sunday, January 22, 2012

You Broke Your Words, Grand

You said that I could fly as high as I wanted.
You said that all of you would be behind my back,
supporting me all the time, no matter what.
Now, where're you?
You're not here. NOT HERE!
You broke your words, Grand!
You left us. You left me
But I love you still
Wish you are happy there

Wednesday, January 18, 2012

KEAJAIBAN UNTUKMU, UNTUKKU, UNTUK KITA

“Saat aku membantu ayah menarik perahu kami ke daratan beberapa tahun kemudian, aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin ayah bisa percaya bahwa rencana Tuhan bagi kami jauh lebih besar daripada apapun yang dapat kami bayangkan jika Tuhan tidak mengirimkan mukjizat saat kami sungguh-sungguh membutuhkannya?”
-Nathan Andrew, remaja belasan tahun, kehilangan ibu di usia delapan tahun.
                Paragraf di atas sedikit mengusik pikiran saya, lebih jauh lagi mungkin paragraf itu berisi pertanyaan yang sama yang tidak mampu  saya utarakan pada siapapun sebelumnya. Dengan penuh ketidaksabaran saya berharap menemukan jawaban di dalamnya. Dan saya tidak kecewa. 
Diawali dengan kepedihan Nathan yang kehilangan ibunya saat berusia delapan tahun dan ingatannya tentang sang ibu yang seperti secara sengaja ditinggalkan layaknya footprint  agar selalu menjejak dalam ingatannya. Ingatan-ingatan yang sebagian besar berbentuk pengajaran itu pada akhirnya membantu Nathan dalam melewati setiap keraguannya.
                Menjadi seorang mahasiswa kedokteran memang tidak mudah, dan Nathan berada pada titik dimana ia merasa tidak berada di tempat yang tepat. Tekanan  dan Dr. Goetz, dokter pembimbing  yang paling dicintai semua penghuni rumah sakit kecuali Nathan, membuatnya ragu atas keputusannya mengambil kuliah kedokteran, lebih dalam lagi ia juga ragu pada dirinya sendiri, pada cita-cita dan keyakinannya. Namun, keluarga, teman, dan semua hal di rumah sakit itu meyakinkannya kembali bahwa Nathan Andrews dilahirkan untuk menjadi seorang dokter masa depan yang hebat.
                Rumah sakit tempat Nathan melakukan rotasi kedokteran adalah tempat yang sama yang membuatnya yakin dan merasakan sendiri blessing yang dulu ia pertanyakan. Ketabahan keluarga pasien yang akhirnya kehilangan orang yang mereka kasihi mengingatkan Nathan pada dirinya dan keluarganya pada saat-saat sang ibu pergi ke surga. Persahabatan antara Meghan dan Charlie yang kelihatan mustahil, tapi sungguh persahabatan itu menjadi akar dari keajaiban natal bagi keduanya, pengorbanan yang luar biasa, dan cinta yang membuat Nathan merasakan sakitnya perasaan takut kehilangan ketika kehilangan itu sendiri sudah melukai hatinya jauh sebelum ia mengenal sang wanita.
Novel ini mencoba meyakinkan kita bahwa keajaiban itu ada dan kadang dalam wujud yang tidak terduga, tinggal bagaimana kita melihatnya sebagai berkat yang diberikanNya.  Donna VanLiere juga berhasil  membuat semua tokohnya dicintai dan begitu diinginkan (well, Charlie is my favorite). Dengan alur yang santai dan menegangkan di akhir, kisah ini mampu menyentuh lewat penjabaran emosi, pemikiran dan karakter tokoh-tokoh di dalam cerita yang disampaikan dengan detail dan mendalam. Karakter Charlie dan Dr. Goetz totally amazing. Sang penulis dengan lihainya mengemas kedua karakter ini begitu rupa sehingga saya terpesona dengan kekuatan karakter mereka yang jauh melampaui ”bungkus” luarnya. Meskipun terkesan berat, novel ini pada kenyataannya juga memiliki sisi humor yang tidak terduga. Satu lagi keistimewaan novel ini: covernya yang ceria mampu menyegarkan mata. Find the blessing inside! Two thumbs up!
“Akan tetapi, aku tahu walaupun kita tidak akan pernah memahaminya, ada sebuah rencana, dan meski harus dilalui dengan rasa sakit, pada akhirnya akan ada sukacita, dan semuanya akan begitu indah”.
-Nathan Andrews, mahasiswa kedokteran, calon dokter  masa depan yang hebat.
Judul                     : The Christmas Blessing
Pengarang          : Donna VanLiere
Tahun terbit       : 2011
Penerbit              : Elex Media Komputindo
Jumlah halaman : 215
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...